BAB II
TINJAUAN
TEORITIS
A.
Pengertian
Obat
pelumpuh otot adalah obat yang dapat digunakan selama intubasi dan pembedahan
untuk memudahkan pelaksanaan anestesi dan memfasilitas intubasi.
Obat
relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau
untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah
suatu operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh.
B.
Farmakologi
Obat Pelumpuh Otot
Relaksasi
otot jurik dapat dicapai dengan mendalamkan anestesi umum inhalasi, blokade
saraf regional, dan memberikan pelumpuh otot. Dengan relakasasi otot ini akan
memfasilitasi intubasi trakea, mengontrol ventilasi mekanik dan mengoptimalkan
kondisi pembedahan. Pada prinsipnya, obat ini menginterupsi transmisi impuls
saraf pada neuromuscular junction.
1.
Fisiologi Transmisi Saraf Otot
Daerah
diantara motor neuron dan sel saraf disebut neuromuscular junction. membran selneuron dan serat otot dipisahkan
oleh sebuah celah (20 nm) yang disebut sebagai celah sinaps. Ketika potensial
aksi mendepolarisasi terminal saraf, ion kalsium akan masuk melalui
voltage-gated calcium channels menuju sitoplasma saraf, yang akhirnya vesikel
penyimpanan menyatu dengan membran terminal dan mengeluarkan asetilkolin.
Selanjutnya asetilkolin akan berdifusi melewati celah sinaps dan berikatan
dengan reseptor nikotinik kolinergik pada daerah khusus di membran otot yaitu motor end plate. Motor end plate merupakan daerah khusus yang kaya akan reseptor
asetilkolin dengan permukaan yang berlipat-lipat.
Gambar 2.1
Neuromuscular
Junction
Sumber: http://wargatarunajaya.blogspot.com/,
diakses tanggal 10 Oktober 2012
Struktur
reseptor asetilkolin bervariasi pada jaringan yang berbeda. Pada neuromuscular junction, reseptor ini
terdiridari 5 sub unit protein, yaitu 2 sub unit α, dan 1 sub unit β, δ,dan ε.
Hanya kedua sub unit α identik yang mampu untuk mengikat asetilkolin. Apabila
kedua tempat pengikatan berikatan dengan asetilkolin, maka kanal ion di intireseptor
akan terbuka. Kanal tidak akan terbuka apabila asetilkolin hanya menduduki satu
tempat. Ketika kanal terbuka, natrium dan kalsium akan masuk, sedangkan kalium
akan keluar. Ketika cukup reseptor yang diduduki asetilkolin, potensial motor end plate akan cukup kuat untuk
mendepolarisasi membran perijunctional yang kaya akan kanal natrium.
Gambar 2.2
Struktur
reseptor asetilkolin
Sumber: http://wargatarunajaya.blogspot.com/,
diakses tanggal 10 Oktober 2012
Ketika
potensial aksi berjalan sepanjang membran otot, kanal natrium akan terbuka dan
kalsium akan dikeluarkan dari reticulum sarkoplasma. Kalsium intraseluler ini
akan memfasilitasi aktin dan myosin untuk berinteraksi yang membentuk kontraksi
otot. Kanal natrium memiliki dua pintu fungsional, yaitu pintu atas dan bawah.
Natrium hanya akan bisa lewat apabila kedua pintu ini terbuka. Terbukanya pintu
bawah tergantung waktu, sedangkan pintu atas tergantung tegangan. Asetilkolim
cepat dihidrolisis oleh asetilkolinesterase menjadi asetil dan kolin sehingga
lorong tertutup kembali dan terjadilah repolarisasi.
2.
Farmakokinetik Pelumpuh Otot
Semua
pelumpuh otot larut di air, relatif tidak larut di lemak, diabsorbsi dengan kurang
baik di usus dan onset akan melambat bila di administrasikan intramuskular. Volume
distribusi dan klirens dapat dipengaruhi oleh penyakit hati, ginjal dan gangguan
kardiovaskular. Pada penurunan cardiac output, distribusi obat akan melemah dan
menurun, dengan perpanjangan paruh waktu, onset yang melambat dan efek yang
menguat. Pada hipovolemia, volume distribusi menurun dan konsentrasi puncak
meninggi dengan efek klinis yang lebih kuat. Pada pasien dengan edema, volume
distribusi meningkat, konsentrasi di plasma menurun dengan efek klinis yang
juga melemah. Banyak obat pelumpuh otot sangat tergantung dengan ekskresi
ginjal untuk eliminasinya. Hanya suxamethonium, atracurium dan cisatracurium
yang tidak tergantung dengan fungsi ginjal. Umur juga mempengaruhi
farmakokinetik obat pelumpuh otot. Neonatus dan infant memiliki plasma klirens
yang menurun sehingga eliminasi dan paralisis akan memanjang. Sedangkan pada
orang tua, dimana cairan tubuh sudah berkurang, terjadi perubahan volume
distribusi dan plasma klirens. Biasanya ditemui sensitivitas yang meningkat dan
efek yang memanjang. Fungsi ginjal yang menurun dan aliran darah renal yang
menurun menyebabkan klirens yang menurun dengan efek pelumpuh otot yang
memanjang.
3.
Farmakodinamik Pelumpuh Otot
Obat
pelumpuh otot tidak memiliki sifat anestesi maupun analgesik. Dosis terapeutik
menghasilkan beberapa efek yaitu ptosis, ketidakseimbangan otot ekstraokular
dengan diplopia, relaksasi otot wajah, rahang, leher dan anggota gerak dan
terakhir relaksasi dinding abdomen dan diafragma.
a.
Respirasi
Paralisis dari otot
pernapasan menyebabkan apnea. Diafragma adalah bagian tubuh yang kurang
sensitif dibanding otot lain sehingga biasanya paling terakhir lumpuh.
b.
Efek kardiovaskular
Hipotensi biasa
ditemukan pada penggunaan D-tubocurarine, sedangkan hipertensi ditemukan pada
penggunaan pancuronium, takikardi pada penggunaan gallamine, rocuronium, dan
pancuronium.
c.
Pengeluaran histamin
D-tubocurarine adalah
obat yang tersering menyebabkan pengeluaran histamin sedangkan vecuronium
adalah yang paling jarang. Reaksi alergi biasanya ditemui pada wanita dengan
riwayat atopi.
C.
Obat
Pelumpuh Otot
Obat
pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif,
leptokurare) dan nondepolarisasi (kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot
depolarisasi sangat menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan
reseptor asetilkolin dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat
ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga konsentrasinya tidak
menurun dengan cepat yang mengakibatkan perpanjangan depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan
depolarisasi ini menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan kanal natrium
bawah tergantung waktu, Setelah eksitasi awal dan pembukaan, pintu bawah kanal
natrium ini akan tertutup dan tidak bisa membuka sampai repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot
depolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase
I block. Setelah beberapa lama depolarisasi end plate yang memanjang
akan menyebabkan perubahan ionik dan konformasi pada reseptor asetilkolin yang
mengakibatkan phase II block, yang secara klinis menyerupai obat pelumpuh
otot nondepolarisasi.
Obat
pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor asetilkolin akan tetapi
tidak mampu untuk menginduksi pembukaan kanal ion. Karena asetilkolin dicegah
untuk berikatan dengan reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk.
Karena obat pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh
asetilkolinesterase, maka ia akan berdifusi menjauh dari neuromuscular junction
dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim pseudokolinesterase. Sedangkan
obat pelumpuh otot nondepolarisasi tidak dimetabolisme baik oleh
asetilkolinesterase maupun pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat
pelumpuh otot nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya,
metabolisme,ekskresi oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya
(kolinesteraseinhibitor).
1.
Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh
otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak
dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan
terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi
otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin
dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi
suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja
pseudokolinesterase.
a.
Suksinilkolin (diasetilkolin,
suxamethonium)
Suksinilkolin
terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang
cepat (30-60 detik) dan duration of
action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki
sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi
suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari
dosis yang dinjeksikan yang mencapai neuromuscular junction.
Duration of action akan memanjang
pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau
rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini
ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat.
Pada beberapa orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang
menyebabkan blokade yang memanjang.
1)
Interaksi obat
a)
Kolinesterase inhibitor
Kolinesterase inhibitor memperpanjang
fase I block pelumpuh otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan
menghambat kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka
depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan
menghambat pseudokolinesterase.
b)
Pelumpuh otot nondepolarisasi
Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh
otot nondepolarisasi merupakan antagonis dari fase I bock pelumpuh otot
depolarisasi, karena ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi
oleh suksinilkolin sebagian dicegah.
2)
Dosis
Karena onsetnya yang
cepat dan duration of action yang
pendek, banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih merupakan pilihan
yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis yang dapat diberikan adalah 1
mg/kg IV.
3)
Efek samping dan pertimbangan klinis
Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac
arrest pada anak dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih dikontraindikasikan
pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek samping dari suksinilkolin adalah :
· Nyeri
otot pasca pemberian
· Peningkatan
tekanan intraokular
· Peningkatan
tekakana intrakranial
· Peningkatan
tekakanan intragastrik
· Peningkatan
kadar kalium plasma
· Aritmia
jantung
· Salivasi
· Alergi
dan anafilaksis
2.
Obat pelumpuh otot nondepolarisasi
a.
Pavulon
Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan.
Mulai kerja pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki efek
akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus dikurangi dan
selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi otot 0,08 mg/kgBB
intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah dosis awal. Dosis Intubasi trakea
0,15 mg/kgBB intravena. Kemasan ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.
b.
Atracurium
1)
Struktur
fisik
Atracurium
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
Leontopeltalum. Keunggulannya adalah metabolisme terjadi di dalam darah, tidak
bergantung pada fungsi hati dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada
pemberian berulang.
2)
Dosis
0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk
intubasi. Relaksasi
intraoperative 0,25 mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse
5-10 mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.
Lebih
cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.
Tersedia
dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC,
potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan. Digunakan
dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.
3)
Efek samping dan pertimbangan klinis
Histamine release pada dosis diatas
0,5 mg/kg
c.
Vekuronium
1)
Struktur
fisik
Vekuronium
merupakan homolog pankuronium bromida yang berkekuatan lebih besar dan lama
kerjanya singkat Zat anestetik ini tidak mempunyai efek akumulasi pada
pemberian berulang dan tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang
bermakna.
2)
Metabolisme dan eksresi
Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka panjang dapat
memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena akumulasi metabolit 3-hidroksi,
perubahan klirens obat atau terjadi polineuropati.
Faktor risiko wanita, gagal ginjal,
terapi kortikosteroid yang lama dan sepsis.
Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi dengan pelemas
otot memperpanjang penggunaan.
3)
Dosis
Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis
0,04 mg/kg diikuti 0,01 mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.
Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat
memanjang durasi pada pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.
Sediaan
10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.
d.
Rekuronium
1)
Struktur
Fisik
Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih
cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal, sedangkan
kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek kerja yang lebih lama.
2)
Metabolisme dan eksresi
Eliminasi terutama oleh hati dan
sedikit oleh ginjal. Durasi tidak terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi
diperpanjang oleh kelainan hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka
panjang (di ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.
3)
Dosis
Potensi lebih kecil dibandingkan
relaksant steroid lainnya. 0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg
bolus untuk rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah
intubasi. Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita
suara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6 menit
dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit. Dapat memanjang
pada pasien orang tua.
4)
Efek samping dan manifestasi klinis
Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin
tapi harganya mahal.
Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.
Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk
prekurasisasi sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.
D.
Pemilihan
Pelumpuh Otot
Karakteristik pelumpuh
otot ideal :
1. Nondepolarisasi
2. Onset
cepat
3. Duration of action
dapat diprediksi, tidak mengakumulasi dan dapat diantagoniskan dengan obat
tertentu
4. Tidak
menginduksi pengeluaran histamin
5. Potensi
6. Sifat
tidak berubah oleh gangguan ginjal maupun hati dan metabolit tidak memiliki
aksi farmakologi.
Durasi pembedahan
mempengaruhi pemilihan pelumpuh otot :
1. Ultra-short acting,
contoh : suxamethonium
2. Short duration.
Contoh: mivacurium
3. Intermediate duration.
Contoh: atracurium, vecuronium, rocuronium, cisatracurium
4. Long duration.
Contoh: pancuronium, D-tubocurarine, doxacurium, pipecuronium.
Pelumpuh otot yang
disarankan :
1. Untuk
induksi yang cepat-suxamethonium, atau apabila dikontraindikasikan dapat
dipakai rocuronium
2. Untuk
stabilitas hemodinamika (contoh pada hipovolemia atau penyakit jantung
parah)-vecuronium
3. Pada
gagal ginjal dan hati-atracurium, vekuronium, cisatracurium ataumivacurium
4. Miastenia
gravis: jika dibutuhkan dosis 1/10 atrakurium
5. Kasus
obstetric: semua dapat diberkan kecuali gallamin
Tanda-tanda
kekurangan pelumpuh otot :
1. Cegukan
(hiccup)
2. Dinding
perut kaku
3. Ada
tahanan pada inflasi paru.
E.
Penawar
Pelumpuh Otot
Antikolinesterase
bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat bekerja.
Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin (dosis
0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan edrophonium (dosis
0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral (dosis 0,01-0,03
mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi,
keringatan, bradikardi, kejang bronkus,
hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai
vagolitik seperti atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis
0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa)

Latief, Said A,
dkk, (2002), Buku Praktis Anestiologi,
Bagian Anestiologi dan Terapi Intensif, FKUI, Jakarta
Mangku, dr, Sp.
An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An, (2010), Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi, PT. Indeks, Jakarta
http://cheminiezt.blogspot.com/p/chemistry.html,
diakses tanggal 10 Oktober 2012
http://wargatarunajaya.blogspot.com/,
diakses tanggal 10 Oktober 2012
http://www.scribd.com/agustina_agus,
diakses tanggal 10 Oktober 2012